Mungkin banyak di antara kita yang sering mengeluh dan bercerita panjang lebar tentang masalah kepada orang lain; baik itu masalah keluarga, muamalah, atau bahkan terkait masa depan yang sudah kadung diselimuti bimbang, "Aku harus gimana?"
Manusiawi memang. Tapi seringkali kita tidak sadar, ketika melihat masalah, di mata kita tertempel kaca pembesar. Akibatnya, masalah kecil terlihat raksasa. Kalau sudah begitu ... siapa masalahnya?
Tidak ada masalah yang besar, hanya diri kita yang membuatnya menjadi besar. Kalau saja kita bisa sedikit memahami bahwa masalah itu bukan caraNya menghambat gerak kita, tetapi sebagai bentuk pengajaran; maka hadiah seperti apa lagi yang patut kita syukuri selain itu?
Dalam setiap masalah, ada tabir paling rahasia yang tidak bisa disibakkan kecuali dengan mendayagunakan nurani.
Tabir itu ada di dalam diri kita. Sibakkan dengan memejamkan mata. Kemudian, ingat hal-hal yang luput dari rasa syukur; barangkali itulah masalahnya.
Musa as. dan Masalahnya
Ialah Musa as., Rasul Allah yang namanya paling banyak disebut di dalam Al-Qur'an, mengajarkan pada kita bahwa masalah itu bisa selesai dengan menengok apa yang telah kita miliki; bukan pada apa yang harus kita cari.
Kisahnya, Sang Nabi sedang berkeras-keras bersama Bani Israil, berjalan menahan pedih dan lapar demi menghindari pasukan Sang Durjana, Fir'aun. Kita semua sudah tahu bahwa mereka terhimpit dua masalah.
Dari arah belakang pasukan Fir'aun mengejar, dari arah depan laut merah menghadang. Kalau dibayangkan, mungkin mereka galau tidak alang kepalang. Sama seperti kita, "Aku harus bagaimana?"
Apa yang dilakukan Nabi Musa as.?
1. Berprasangka Baik pada Allah
Meskipun satu pukulannya dapat menghilangkan nyawa, tetapi dia tidak sombong; merasa bahwa masalah apapun dapat selesai dengan kehendaknya sendiri. Dia kemudian memuji Sang Sebab dari segala sebab dan dengan keyakinan yang utuh berucap, "Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku."
2. Melakukan Hal yang Dia Bisa
Allah kemudian mewahyukan pada Musa as. "Pukullah laut itu dengan tongkatmu." dan laut pun terbelah. Masalah selesai.
Apakah kita tidak mengambil pelajaran?
Pelajaran yang Bisa Kita Ambil
Mari menyerap saripati yang ada dalam kisah tersebut. Nabi Musa as. yang terhimpit dua masalah (mengejar dan menghadang) yang dilakukan pertama kali adalah berbaik sangka; menyucikan Allah dari segala bentuk keburukan. Maka dia berucap, "Tuhanku bersamaku."
Sepatutnya kita pun seperti itu. Allah maujud di dalam sikap kita; ketika prasangka kita baik, maka baiklah Ia. Bila buruk, maka Ia akan tetap baik, karena sesungguhnya ketika prasangka kita buruk, kitalah yang buruk itu.
Hal kedua yang dilakukan Musa as. adalah memukulkan tongkat. Sederhana bukan? Hanya menggerakkan beberapa inci saja tangannya dan boom, Laut Merah terbelah.
Pertanyaannya adalah, apakah tongkat yang dipakai nabi Musa as. membelah lautan secara ajaib turun dari langit bersamaan dengan firmanNya? Tidak! Sedari awal tongkat itu sudah ada bersama Nabi Musa as.
"Iya! Tepat!"; sebuah jawaban bila kita mulai berpikir, 'apakah masalah kita solusinya sudah ada sejak awal?'
Dia sudah berjanji dalam Kitab Suci, mustahil ada pundak yang lebih lemah daripada beban tanggungan. Maka, seberat apapun masalah, sebenarnya kita sanggup memikulnya. Caranya ... berprasangka baik dan lakukan apa yang bisa kita lakukan, seperti halnya Musa as. melakukan apa yang bisa dia lakukan: memukulkan tongkat.
Do your part, and let Allah do His part!
Dan terakhir adalah menyerahkan semuanya pada Dia senantiasa. Sebab bersama Allah, semua akan baik-baik saja.
(Muhamad Mulkan Fauzi/Tibuku/BerbagiOptimis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar