Manusia cerdas adalah dia yang mempersiapkan segala sesuatunya demi kehidupan kekal yang akan dijalanai selepas ruh dicerabut dari jasad.
Bagaimana tidak, kehidupan dunia hanyalah sementara. Muhammad Ali, petinju dunia itu pernah dengan bersemangat mengatakan keyakinannya di depan orang-orang nasrani dan atheis.
"Dunia ini hanya sementara, akhirat selama-lamanya. Berapa lama itu 'selamanya'? Bayangkan kamu berada di Gurun Sahara, lalu kamu ambil satu butir pasir, terus tunggu selama 1000 tahun untuk mengambil butir pasir yang kedua; tunggu lagi 1000 tahun, lalu ambil butiran pasir yang ketiga, begitu seterusnya. Berapa lamakah itu?"
Sungguh merugi orang-orang yang waktu hidupnya di dunia tidak dihabiskan untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Apalagi mereka yang kekeuh dengan prinsip 'hidup mengalir seperti air'. Ust. Salim A. Fillah pernah mengingatkan kita tentang sifat air di dalam salah satu bukunya.
Orang-orang yang prinsip hidupnya 'mengalir seperti air', mungkin lupa kalau air itu mengalir ke tempat yang lebih rendah.
Sejarah adalah pelajaran berharga bila saja kita bisa mempelajari walau sedikit. Orang-orang yang dalam lembaran-lembaran hidupnya dipenuhi kisah heroik, ternyata selalu memiliki target yang melampaui batas ruang dan waktu, bahkan dimensi alam.
Katakanlah Muhammad Al-Fatih yang dengan seluruh ibadahnya, hidup demi memenuhi bashirah Sang Nabi berabad-abad yang lalu ketika bersabda, "Konstantinopel akan ditaklukan oleh pemimpin terbaik dan pasukan terbaik." hingga akhirnya dia mendapatkannya.
Islam sempat berjaya di sana; di mana berkat penaklukan tersebut nama Islam terrangkat, Al-Qur'an dipelajari tanpa takut diberangus oleh siapapun yang tidak suka.
Hingga saat ini, kisah kegemilangan beliau masih terus disenandungkan dan menginspirasi banyak orang untuk berubah menjadi pribadi yang bertujuan besar dan fokus pada proses yang berkaitan dengan perbaikan diri.
Iya. Muhammad Al-Fatih bercita-cita menaklukan Konstantinopel, tetapi yang lebih sering beliau lakukan bukanlah menyerang membabi buta, tetapi memperbanyak ibadah, berlatih, dan mengaktualisasi diri sehingga pundaknya cukup kuat untuk Allah bebankan Konstantinopel.
Untuk setiap orang yang terinspirasi dari kisahnya, ada jariyah; kebaikan yang menembus dimensi ruang, waktu, bahkan alam sekalipun.
Nah, bagaimana dengan kita? Sudahkah menentukan target yang dapat membuat kita bangkit dalam keadaan tersenyum di 'hari yang tiada lagi alasan membela diri selain amal'?
Hidup Harus Punya Visi
Hidup haruslah mempunyai visi. Sebab visi itulah yang akan membantu kita merumuskan misi-misi. Atau bahasa lainnya, tujuanlah yang akan membuat kita tahu apa yang harus dilakukan.Bayangkan kalau hidup tidak mempunyai tujuan. Ada dua kemungkinan.
1. Kita tidak ke mana-mana
2. Kita tidak tahu sedang di mana
Analoginya seperti ini: Bayangkan kalau kamu itu seorang yang punya waktu luang dan uang, lantas kamu memanggil taksi dan berkata, "Pak, saya punya waktu dan uang senilai sekian, antarkan saya ke manapun. Terserah."
Kalau supir taksinya pintar, taksi akan berputar-putar di tempat itu sampai argonya mencapai nominal yang dibayarkan, lalu kamu di suruh turun. Hasilnya? Kamu tidak ke mana-mana.
Atau kemungkinan yang kedua, supir taksinya usil. Kamu akan dibawa ke jalan tol, apes, argonya mencapai nominal yang dibayarkan di tengah jalan, lalu kamu diturunkan. Hasilnya? Kamu tidak tahu sedang di mana; kecuali nama tolnya. Itupun kalau dikasih tahu supir taksi usil tadi.
Itulah dunia, kalau tidak punya visi kita akan dipermainkan. Bukankah dunia ini hanya permainan? Kenapa dipermainkan, bukan memainkan?
Jadi kalau hari ini kita merasa tidak jadi apa-apa, tidak ke mana-mana, mungkin kita tidak mempunyai tujuan akhir?
Mulailah dari Akhir
Stephen R. Covey dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective People menuliskan salah satu jurus agar menjadi manusia yang efektif, yaitu memulai segala sesuatunya dari akhir di pikiran.
Artinya, sebelum memulai sesuatu kita harus tahu tujuan akhirnya apa, sehingga gambaran mengenai hal-hal yang harus dilakukan demi mencapai tujuan itu dapat secara jelas disketsakan sedemikian rupa.
Bukankah gedung mewah dibangun berdasarkan gambar dari arsitek dan perencanaan dari seorang civil engineer? Itulah visi. Gambaran mengenai masa depan. Tidak mungkin gedung besar dibuat secara tidak sengaja. Pasti ada gambar dan perencanaan.
Belajarlah dari hal sederhana. Ibu kita di dapur kalau memasak, apa beliau membeli bahan-bahan dulu lalu bilang, "Aha! Sudah beli terigu, tempe, garam, dan seledri. Enak kayaknya kalau masak mendoan." atau beliau menentukan dulu mau masak apa lalu beli bahan-bahan?
Visi Tidak Terbatas pada Apa yang Menjadi Kapasitas Kita Hari Ini
Bermimpi itu butuh tenaga. Betapa banyak dari kita yang bermimpi saja masih tidak sanggup. Misalnya, misalnya, ya ... ketika ditanya, "Pengin punya gaji berapa?" banyak yang menjawab, "Ah, saya mah satu juta juga cukup." Alhasil, usahanya juga senilai segitu.
Padahal, bermimpi itu gratis.
Padahal, bermimpi itu gratis.
"Bermimpilah setinggi langit," Ir. Soekarno pernah memekikkan kata-kata ini, "Jikalau tidak sampai, setidaknya akan jatuh di antara bintang-bintang."
Bermimpilah, bervisilah, bertujuanlah yang tinggi walau hari ini kita merasa belum pantas mendapatkannya. Karena apa yang terbesit dalam pikiran kita sejatinya adalah amanah dari Allah.
Mimpimu adalah amanahNya!
Bila ada di antara kita hari ini yang kesal dengan sistem pendidikan Indonesia karena produknya semakin hari semakin menurun; etika dan moral semakin menjadi barang mahal bagi anak didik, lalu kamu bercita-cita megubahnya dengan mendirikan sekolah sendiri, dengan sistem sendiri; atau dengan menjadi menteri pendidikan, rancanglah!
Itu berarti Allah sedang berbisik padamu, "Kamu, suatu hari bisa melakukannya." hal itu akan mendorong kita berusaha dengan maksimal. Dan tahukah, ketika tujuanmu mulia ... Allah akan memperjalankanmu hingga menemukan perangkat-perangkat yang mendukung demi pencapaian tujuan tersebut.
Saya sendiri merasakannya. Ketika sudah bertujuan demi sesuatu yang baik, Allah pertemukan saya dengan orang-orang yang menjadi anak tangga dalam pendakian mencapai tujuan itu.
Visimu, adalah jalan pulangmu. Seperti apa kau menentukan tujuan, seperti itulah tempatmu di kehidupan selanjutnya.
(Muhamad Mulkan Fauzi/BerbagiOptimis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar