AKU membetulkan kerudung yang kukenakan. Menarik-narik
ujung bawahnya, seolah dipaksakan menjadi panjang dan lebar. Namun, sampai
kapanpun usaha ini memang tidak akan pernah berhasil. Ah, memangnya aku ini Pak
Tarno yang bisa menyulap sesuatu menjadi apapun yang diinginkan?
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan kerudung
ini, hanya saja bila dibandingkan dengan kerudung Salfa dan orang-orang di
depanku ini, kerudung ini terlihat paling aneh. Karena, kerudung yang mereka
kenakan panjang sampai perut, tidak tipis dan tidak ketat. Berbeda denganku,
panjangnya hanya sampai sebatas dada, bahannya lebih tipis—tapi tidak ketat.
Aku merasa aneh.
Sekarang aku sedang duduk melingkar di masjid, Salfa
yang mengajakku. Oh, ya, aku memutuskan untuk bergabung dengan rohani Islam
yang dinamai Remaja Masjid Al-Istiqomah ini. Aku benar-benar ingin membulatkan
tekad untuk berhijrah. Salfa mendukungku sepenuhnya. Dan begitu aku bergabung,
ternyata teman-teman Salfa membuka tangannya lebar-lebar, menyambutku dengan
senyuman terbaik mereka. Aku tentu saja merasa senang.
Ah, daripada ribut sendiri membenahi kerudung
yang sudah pasti tidak akan memanjang dan melebar, aku kembali memusatkan
perhatian pada Kak Fatma—wakil ketua rohis—yang sedang berbicara.
“Ukhti fillah, kita kedatangan tentara Allah
baru. Namanya Risa dari kelas sebelas IPS.” kata Kak Fatma tiba-tiba.
Fokusku buyar. Aku? Tentara Allah?
Kak Fatma melanjutkan, “Sebagian teman-teman di
sini ada yang sudah kenal dan belum. Bagi yang belum kenal, rasanya perlu
dita’arufkan.” Ia memandangku lembut. “Risa, ayo perkenalkan dirimu.”
Belasan pasang mata sontak tertuju ke arahku.
Aku menatap mereka satu persatu sebelum mulai
membuka mulut.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
sapaku.
Hei, kok, aku merasa gugup?
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”
jawab mereka serempak.
“Nama lengkap saya Risa Reasya, Teman-teman bisa
memanggil saya, Risa. Benar apa yang disebutkan Kak Fatma barusan, saya kelas
sebelas jurusan IPS, teman sekelas Salfa.” Aku melirik Salfa. Yang dilirik
membalas tersenyum. Kemudian, aku menyebutkan beberapa identitas seperti
alamat, hobi, buku bacaan favorit, dan riwayat organisasi—Kak Fatma yang
meminta. Sampai akhirnya, salah satu dari mereka bertanya,
“Mengapa Risa ingin bergabung dengan rohis?”
“Karena, aku ingin mencintai seseorang karena
Allah.” Sedetik—bahkan kurang dari sedetik—setelah berkata demikian, aku
seperti tersadar dari lamunan. Kubekap mulut, lalu menggerak-gerakkan tangan
dengan cepat. “Bukan! Oh, bukan! Bukan itu maksudku,” Semua yang mendengarkanku
tertawa. Kok, bisa aku spontan menjawab begitu? Aduh! “maksudku, emm...
alasanku bergabung dengan rohis karena, aku ingin memperbaiki diri. Aku ingin
berubah. Ingin Allah menjadi prioritasku di dunia ini. Aku...” Suara tawa
mereda. “... ingin berhijrah ke arah-Nya.”
Orang yang tadi bertanya kembali membuka mulut.
“Masya Allah. Baiklah, Risa, kau datang ke tempat yang tepat, insya Allah.”
katanya sambil tersenyum. Ah, orang-orang di sini senyumnya menawan, memikat
hati semua.
“Risa,” kata Salfa tiba-tiba.
Aku menoleh. Salfa mencondongkan tubuhnya ke
arahku, lalu mengisyaratkan agar aku melakukan hal yang sama. Dengan suara
rendah ia berkata,
“Dengar, ini komitmen seumur hidup.” Matanya
menyipit. “Apa kau sungguh-sungguh dengan apa yang kau ucapkan tadi?”
“Tentu saja.”
“Kau yakin?’
Kedua alisku terpaut. Apa Safla sedang melakukan
wawancara atau apa?
“Ya.”
“Bukan karena laki-laki itu?”
Aku melotot, takut orang-orang mendengarnya.
Tapi, karena Salfa bukan sedang berbisik-bisik, tentu saja semua yang
mendengarnya tahu apa yang sedang ia bicarakan. Tamat sudah.
“Ya! Hush, Salfa, kau ini kenap...”
“AHLAN WA SAHLAN KALAU BEGITU!”
Aku terkget-kaget. Salfa tiba-tiba berteriak
kencang sekali. Yang lain sama kagetnya denganku.
“Kau tahu, aku senang bukan main, Risa! Oii Ukhti
fillah, jaga barisan kita! Jangan sampai ada yang mundur, kalau bisa seret
semua siswa SMA kita untuk menjadi bagian dari rohis ini! Aku sakit hati karena
jumlah kita yang sedikit dan belum bertambah sejak enam bulan lalu, tapi
sekarang—meskipun satu orang—rohis ini bertambah, bertambaaah!!! Kau tahu,”
napas Salfa terengah-engah, samar-samar suaranya gemetar dan matanya berair.
“seperti yang diucapkan kaderisasi M. Natsir bahwa rohis bukanlah tempat yang
bisa seenaknya saja kita bilang, ‘Afwan, saya tidak bisa ikut ini-itu, tidak
bisa membantu ini-itu. Saya sibuk’. Itu seolah kita mengira jalan dakwah ini
hanya berisi para pengangguran! Teman-teman, kita harus pegang baik-baik
komitmen kita seperti mejaga baik-baik semangat saat awal bergabung di Remaja
Masjid Al-Istiqomah ini untuk pertama kali!”
Aku melirik orang-orang di ruangan, mereka
tertunduk, kedua bahunya bergetar. Kemudian, satu pekikkan dari Kak Fatma
menambah kedua bahu berguncang semakin hebat.
“Allahu Akbar!!!” serunya sambil mengepalkan
sebelah tangan ke atas. Suaranya serak karena menahan tangis.
Semua orang mengikuti Kak Fatma. “Allahu
Akbar!!!”
Allahu Akbar!
Seketika, semangat baru—semangat yang tak pernah
kukenal sebelumnya—bergelora menjalari sekujur tubuhku.
***
Penulis: Fitri Rahayu
***
Kak, jangan lupa share dan komentarnya ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar