My Heroic Prince - Berbagi Optimis

Terbaru

Search Bar

Kamis, 02 November 2017

My Heroic Prince

“BAGI siapa saja yang tidak membawa persyaratan secara utuh, angkat tangan!” 
Aku memberanikan diri mengangkat tangan tanpa meilrik kanan-kiri, akhirnya aku sadar bahwa hanya aku seorang yang mengangkat tangan. Mati! Duh, suara kakak senior betul-betul membuat saraf tegang!
 Ini adalah hari ke tiga Masa Orientasi Mahasiswa Baru di universitas yang aku pilih. Senang, sih, bisa menjadi bagian dari mahasiswa yang katanya agent of change dan iron stock. Tapi, untuk mencapai level itu harus melewati tahap yang sungguh menguji mental. Bagaimana tidak? Sudah tiga hari kami bagai robot yang harus patuh membawa ini-itu, berangkat pukul 6 pagi dan pulang pukul 5 sore, belum lagi diuji pemikiran kritis yang nyaris membuat otak meledak. Ini semua tidaklah mudah, dan ini baru awal dari semua. Masa orientasi ini adalah masa yang sangat dasar untuk dilalui. Jadi, seharusnya dibentak dan diuji pemikiran kritis tidaklah menjadi masalah besar. Aku pasti bisa.

Kakak senior laki-laki yang memakai slyer merah berlabel, ‘Kedisiplinan’, berjalan mendekat sambil menatapku tajam. “Perkenalkan nama!” 
 “Nama saya An...”
 “Lembek!” sergahnya.
Aku berdeham, “Perkenalkan, nama saya Anafa Finky.” kataku memperkuat suara. “Saya tidak membawa tiga persyaratan, karena...”
“Tiga persyaratan? Malas!” Ia menyela.
Aku nyaris menunduk, tidak tahan melihat tatapan matanya yang menyebalkan. Rasanya, ingin kulayangkan tinju sampai ia tidak bisa membuka mata dan menyipit macam itu!
“Interupsi,” Aku berusaha membela diri. “Mohon maaf,  kemarin saya sakit, jadi tidak bisa maksimal mencari persyaratan.”
“Alasan! Beri ia poin dua kali lipat!”
Woodua kali lipat? Yang benar saja!
Tiba-tiba, satu suara berteriak lantang dari barisan laki-laki. “Interupsi!” katanya.
Kakak senior beralih ke sumber suara. “Maju ke depan!”
Lalu, seseorang berperawakan tinggi dari barisan laki-laki itu menurut, ia seketika ke depan dan langsung menghadap kakak senior.
“Bicara!”
“Saya tidak setuju deng...”
Kedua alis kakak senior terangkat. Tatapan matanya sinis. “Tidak sopan! Kamu lupa?”
Laki-laki itu meralat ucapannya. “Interupsi, nama saya Fahri Iraf. Saya tidak setuju dengan poin yang Kakak kasih untuk perempuan itu.”
Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Aku?
“Oh,” seru kakak senior sambil tertawa menyebalkan. “jadi, seorang yang tidak disiplin itu harus dikasih keringanan?”
Aku merasa tersinggung. Siapa yang tidak disipilin? Aku memang sakit. Sungguh.
“Mohon maaf, Kak,” kata laki-laki yang bernama Fahri itu. “mungkin ia memang sakit parah, sampai akhirnya tidak bisa berbuat banyak untuk mencari persyaratan yang dimaksud.”
Kakak senior itu beralih menatapku. “Kamu, sini!” titahnya ngeri.
Aku tersentak, merasa gugup, lalu berjalan mendekat.
“Lihat?” kata kakak senior itu ke arah Fahri. “Kalau dia benar sakit parah, kenapa masih bisa berjalan dan berdiri di sini?”
Fahri kembali bersuara, “Mungkin ia memaksakan diri.”
“Terus saja dibela.” kakak senior itu terdengar geram. Lalu, “Hei, kamu suka ya sama dia?”
Kedua mataku membesar. Sontak aku melirik ke arah Fahri. Ia terlihat menggoyang-goyangkan tangannya dengan cepat, terlalu cepat.
“Tidak, Kak, bahkan saya belum melihat wajahnya.” jawab Fahri tegas.
Aku tertegun. Jawaban indah yang belum pernah aku dengar dari siapapun. Entah kenapa aku jadi penasaran dengan laki-laki yang bernama Fahri ini.
“Peraturan adalah peraturan.” kata kakak senior. “Beri ia poin tetap dua kali lipat!”
Aku pasrah. Kedua bahuku merosot.
Seorang kakak senior lain yang bertugas sebagai pencatat poin mendekat ke arahku dan mengambil kartu yang aku kalungkan.
“Dia sudah mendapat 4 poin sebelumnya,” katanya begitu menilik kartuku. “jika ditambah poin dua kali lipat akan mencapai 10 poin. Itu artinya, ia tidak akan lulus masa orientasi ini.”
Aku terperanjat. Tidak lulus??? “Interupsi!” kataku spontan. “Apa hanya karena prasangka, Kakak memberiku poin dua kali lipat? Saya benar sakit. Kemarin, saya menitipkan surat keterangan dari dokter lewat teman, dan kabarnya surat itu sudah sampai ke tangan salah seorang Kakak senior.”
Fahri ikut angkat bicara, nyaris membuatku melompat kaget. “Interupsi!” suaranya meninggi. “Lagipula, bukankah memang ada keringanan bagi peserta yang sakit? Rasanya, Kakak sudah tidak toleran jika tetap berbuat demikian!”
“Aaahh!!!” seru Kakak senior sambil menarik kerah baju Fahri. Ia lalu mendorongnya sampai ke tembok. Dug! Keras sekali.
Suasana ruang orientasi ini terutup dan sedikit gelap, sungguh mirip setting penjara yang ramai oleh para tahanan yang adu jotos. Melihat kejadian ini, para peserta terkaget-kaget. Bahkan saking kagetnya, terdengar isak tangis dari beberapa teman perempuan. Sementara, beberapa teman laki-laki mulai berteriak.
“Kami di sini untuk dididik!”
“Apa-apaan ini?”
“Woy!”
“Masih zaman senioritas?”
Bahkan tanpa kuduga, seorang peserta laki-laki keluar dari barisan dan mendekat ke arah Fahri yang hendak ditonjok Kakak senior. “Siapa lo? Apalah junior-senior! Tidak takut!”
Apa-apaan ini?! Aku tidak habis pikir pada apa yang terjadi di depan batang hidungku ini. Bukankah sebuah universitas itu terkenal dengan intelektualnya? Tapi, mengapa semua ini hanya tentang perintah dan kekerasan?
“Berhenti!” seruku. “Biarkan saya tidak lulus. Ini konsekuensi yang harus saya terima. Tolong jangan pukul dia!”
Aku melihat napas Fahri naik-turun. Ia seperti kesulitan bernapas.
Saat keadaan semakin memanas, ruangan tiba-tiba terang benderang. Semua kakak senior maju ke depan sambil memasang raut wajah manis. Lalu, mereka bertepuk tangan. Tepuk tangan? Sementara itu, kakak senior yang mendorong Fahri langsung menurunkan tangannya dan tersenyum. Tersenyum? Tunggu-tunggu...
“Selamat,” kata kakak senior yang kini tersenyum. “kalian memiliki rasa kepedulian yang baik, meski belum mengenal satu sama lain. Kalian tidak gentar ketika membela seseorang yang memang tidak bersalah.” Lalu, ia melirik ke arahku. “Kami tahu perempuan itu memang sakit, dan kami mengerti ia tidak dapat membawa persyaratan secara utuh. Saya sengaja memancing kalian untuk memunculkan sisi membela kebenaran.” Ia beralih ke arah Fahri. “Dan laki-laki bernama Fahri ini terpancing. Saya senang, karena itu artinya, drama ini berhasil. Buktinya, kalian semua mulai geram, bahkan ada yang menangis, bukan? Haha.”
Semua peserta mulai riuh. Mereka merasa dijebak, termasuk aku. Ah, menyebalkan!
“Kalian berhasil. Kami salut.” seru kakak senior lain. “Fahri, karena keberanianmu, kami memilihmu untuk menjadi ketua angkatan jurusan Sastra Inggris di tahun ini.”
Aku merasa sesuatu bergetar. Lalu, aku melirik Fahri. Wajahnya masih menyisakan bekas amarah, kerah bajunya pun masih berantakkan.
“Fahri, kemarilah!” pinta kakak senior. Ia menyuruh Fahri maju ke depan ruangan, agar semua orang dapat melihatnya dengan jelas.
Fahri menurut, ia berjalan sambil disambut tepuk tangan meriah dari semua orang. Lalu, kakak senior menyambut Fahri dengan pelukkan, dan dibenahinya kerah baju yang tak beraturan. Ia disematkan selendang bertuliskan “Ketua Angkatan Sastra Inggris 2015”.
“Apa yang membuatmu berani membela seseorang yang bahkan belum kau kenal, Fahri? Kenapa kau tidak takut?” tanya kakak senior.
Fahri menatap ruangan sekilas, lalu, “Takut ketika merasa benar, untuk apa? Saya diam bukan berarti takut, terlalu banyak bicara justru yang pengecut. Kalau benar-benar diperlukan, lebih suka langsung bertindak. Saya percaya kalau dia memang sakit, tidak tahu kenapa, padahal ya kami belum saling kenal, bahkan tadi melihat wajahnya saja belum.”
Seisi ruangan tertawa.
“Kalau begitu, kau bisa berkenalan dengannya setelah ini, Fahri.”
Aku nyengir. Haha.
Tak lama setelahnya, Fahri berhenti berbicara. Lalu, ia dipersilakan untuk kembali ke tempat semula. Saat ia berjalan melewatiku, kami bertatapan.
“Terima kasih.” kataku pelan.
Fahri tersenyum, lalu ia menganggukkan kepalanya.
Aku sontak menunduk. Rasanya, aku ingin tersenyum lebar sampai tertawa. Haha. Entah kenapa aku merasa ada yang menggelitik. Selebihnya, hanya ada kata-kata yang terus terngiang dipikiranku,
Hei, kamu suka ya sama dia?” kata kakak senior.
Tidak, Kak, bahkan saya belum melihat wajahnya.”jawab laki-laki itu.
Ah, entah aku yang berlebihan atau bagaimana, tapi rasanya itu adalah kalimat yang paling manis yang pernah kudengar. Sungguh. Tindakkannya bagai pahlawan untukku. Fahri, kau tahu, meski aku tidak percaya dengan Cinta pada Pandangan Pertama, tapi kau membuatku percaya bahwa cinta seperti itu ada, nyata. Kau tahu, sepertinya aku mulai menyukaimu.  

___S E L E S A I___      
 ***
 Penulis: Fitri Rahayu 
***
Jangan lupa komentar nya ya, Kak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar