“BAGI siapa saja
yang tidak membawa persyaratan secara utuh, angkat tangan!”
Aku memberanikan diri mengangkat
tangan tanpa meilrik kanan-kiri, akhirnya aku sadar bahwa hanya aku seorang
yang mengangkat tangan. Mati! Duh, suara kakak senior betul-betul membuat saraf
tegang!
Ini adalah hari ke tiga Masa
Orientasi Mahasiswa Baru di universitas yang aku pilih. Senang, sih, bisa
menjadi bagian dari mahasiswa yang katanya agent
of change dan iron stock. Tapi,
untuk mencapai level itu harus melewati tahap yang sungguh menguji mental.
Bagaimana tidak? Sudah tiga hari kami bagai robot yang harus patuh membawa
ini-itu, berangkat pukul 6 pagi dan pulang pukul 5 sore, belum lagi diuji
pemikiran kritis yang nyaris membuat otak meledak. Ini semua tidaklah mudah,
dan ini baru awal dari semua. Masa orientasi ini adalah masa yang sangat dasar
untuk dilalui. Jadi, seharusnya dibentak dan diuji pemikiran kritis tidaklah menjadi
masalah besar. Aku pasti bisa.
Kakak senior laki-laki yang memakai slyer merah berlabel, ‘Kedisiplinan’, berjalan
mendekat sambil menatapku tajam. “Perkenalkan nama!”
“Nama saya An...”
“Lembek!” sergahnya.
Aku berdeham, “Perkenalkan, nama
saya Anafa Finky.” kataku memperkuat suara. “Saya tidak membawa tiga
persyaratan, karena...”
“Tiga persyaratan? Malas!” Ia
menyela.
Aku nyaris menunduk, tidak tahan
melihat tatapan matanya yang menyebalkan. Rasanya, ingin kulayangkan tinju
sampai ia tidak bisa membuka mata dan menyipit macam itu!
“Interupsi,” Aku berusaha membela
diri. “Mohon maaf, kemarin saya sakit,
jadi tidak bisa maksimal mencari persyaratan.”
“Alasan! Beri ia poin dua kali
lipat!”
Woo—dua kali
lipat? Yang benar saja!
Tiba-tiba, satu suara berteriak
lantang dari barisan laki-laki. “Interupsi!” katanya.
Kakak senior beralih ke sumber
suara. “Maju ke depan!”
Lalu, seseorang berperawakan tinggi dari barisan
laki-laki itu menurut, ia seketika ke depan dan langsung menghadap kakak
senior.
“Bicara!”
“Saya tidak setuju deng...”
Kedua alis kakak senior terangkat.
Tatapan matanya sinis. “Tidak sopan! Kamu lupa?”
Laki-laki itu meralat ucapannya.
“Interupsi, nama saya Fahri Iraf. Saya tidak setuju dengan poin yang Kakak
kasih untuk perempuan itu.”
Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Aku?
“Oh,” seru kakak senior sambil tertawa
menyebalkan. “jadi, seorang yang tidak disiplin itu harus dikasih keringanan?”
Aku merasa tersinggung. Siapa yang
tidak disipilin? Aku memang sakit. Sungguh.
“Mohon maaf, Kak,” kata laki-laki
yang bernama Fahri itu. “mungkin ia memang sakit parah, sampai akhirnya tidak
bisa berbuat banyak untuk mencari persyaratan yang dimaksud.”
Kakak senior itu beralih menatapku.
“Kamu, sini!” titahnya ngeri.
Aku tersentak, merasa gugup, lalu
berjalan mendekat.
“Lihat?” kata kakak senior itu ke
arah Fahri. “Kalau dia benar sakit parah, kenapa masih bisa berjalan dan
berdiri di sini?”
Fahri kembali bersuara, “Mungkin ia
memaksakan diri.”
“Terus saja dibela.” kakak senior
itu terdengar geram. Lalu, “Hei, kamu suka ya sama dia?”
Kedua mataku membesar. Sontak aku
melirik ke arah Fahri. Ia terlihat menggoyang-goyangkan tangannya dengan cepat,
terlalu cepat.
“Tidak, Kak, bahkan saya belum
melihat wajahnya.” jawab Fahri tegas.
Aku tertegun. Jawaban indah yang belum pernah aku dengar dari siapapun. Entah kenapa aku jadi penasaran dengan laki-laki yang bernama Fahri ini.
“Peraturan adalah peraturan.” kata
kakak senior. “Beri ia poin tetap dua kali lipat!”
Aku pasrah. Kedua bahuku merosot.
Seorang kakak senior lain yang
bertugas sebagai pencatat poin mendekat ke arahku dan mengambil kartu yang aku
kalungkan.
“Dia sudah mendapat 4 poin
sebelumnya,” katanya begitu menilik kartuku. “jika ditambah poin dua kali lipat
akan mencapai 10 poin. Itu artinya, ia tidak akan lulus masa orientasi ini.”
Aku terperanjat. Tidak lulus???
“Interupsi!” kataku spontan. “Apa hanya karena prasangka, Kakak memberiku poin
dua kali lipat? Saya benar sakit. Kemarin, saya menitipkan surat keterangan
dari dokter lewat teman, dan kabarnya surat itu sudah sampai ke tangan salah
seorang Kakak senior.”
Fahri ikut angkat bicara, nyaris
membuatku melompat kaget. “Interupsi!” suaranya meninggi. “Lagipula, bukankah memang
ada keringanan bagi peserta yang sakit? Rasanya, Kakak sudah tidak toleran jika
tetap berbuat demikian!”
“Aaahh!!!” seru Kakak senior sambil
menarik kerah baju Fahri. Ia lalu mendorongnya sampai ke tembok. Dug! Keras
sekali.
Suasana ruang orientasi ini terutup
dan sedikit gelap, sungguh mirip setting
penjara yang ramai oleh para tahanan yang adu jotos. Melihat kejadian ini, para
peserta terkaget-kaget. Bahkan saking kagetnya, terdengar isak tangis dari beberapa
teman perempuan. Sementara, beberapa teman laki-laki mulai berteriak.
“Kami di sini untuk dididik!”
“Apa-apaan ini?”
“Woy!”
“Masih zaman senioritas?”
Bahkan tanpa kuduga, seorang peserta
laki-laki keluar dari barisan dan mendekat ke arah Fahri yang hendak ditonjok
Kakak senior. “Siapa lo? Apalah junior-senior! Tidak takut!”
Apa-apaan ini?! Aku tidak habis
pikir pada apa yang terjadi di depan batang hidungku ini. Bukankah sebuah
universitas itu terkenal dengan intelektualnya? Tapi, mengapa semua ini hanya
tentang perintah dan kekerasan?
“Berhenti!” seruku. “Biarkan saya
tidak lulus. Ini konsekuensi yang harus saya terima. Tolong jangan pukul dia!”
Aku melihat napas Fahri naik-turun.
Ia seperti kesulitan bernapas.
Saat keadaan semakin memanas,
ruangan tiba-tiba terang benderang. Semua kakak senior maju ke depan sambil
memasang raut wajah manis. Lalu, mereka bertepuk tangan. Tepuk tangan? Sementara
itu, kakak senior yang mendorong Fahri langsung menurunkan tangannya dan
tersenyum. Tersenyum? Tunggu-tunggu...
“Selamat,” kata kakak senior yang
kini tersenyum. “kalian memiliki rasa kepedulian yang baik, meski belum
mengenal satu sama lain. Kalian tidak gentar ketika membela seseorang yang
memang tidak bersalah.” Lalu, ia melirik ke arahku. “Kami tahu perempuan itu
memang sakit, dan kami mengerti ia tidak dapat membawa persyaratan secara utuh.
Saya sengaja memancing kalian untuk memunculkan sisi membela kebenaran.” Ia
beralih ke arah Fahri. “Dan laki-laki bernama Fahri ini terpancing. Saya
senang, karena itu artinya, drama ini berhasil. Buktinya, kalian semua mulai
geram, bahkan ada yang menangis, bukan? Haha.”
Semua peserta mulai riuh. Mereka
merasa dijebak, termasuk aku. Ah, menyebalkan!
“Kalian berhasil. Kami salut.” seru
kakak senior lain. “Fahri, karena keberanianmu, kami memilihmu untuk menjadi
ketua angkatan jurusan Sastra Inggris di tahun ini.”
Aku merasa sesuatu bergetar. Lalu,
aku melirik Fahri. Wajahnya masih menyisakan bekas amarah, kerah bajunya pun
masih berantakkan.
“Fahri, kemarilah!” pinta kakak
senior. Ia menyuruh Fahri maju ke depan ruangan, agar semua orang dapat
melihatnya dengan jelas.
Fahri menurut, ia berjalan sambil
disambut tepuk tangan meriah dari semua orang. Lalu, kakak senior menyambut Fahri
dengan pelukkan, dan dibenahinya kerah baju yang tak beraturan. Ia disematkan
selendang bertuliskan “Ketua Angkatan Sastra Inggris 2015”.
“Apa yang membuatmu berani membela
seseorang yang bahkan belum kau kenal, Fahri? Kenapa kau tidak takut?” tanya
kakak senior.
Fahri menatap ruangan sekilas, lalu, “Takut ketika merasa benar, untuk apa? Saya diam bukan berarti takut, terlalu banyak bicara justru yang pengecut. Kalau benar-benar diperlukan, lebih suka langsung bertindak. Saya percaya kalau dia memang sakit, tidak tahu kenapa, padahal ya kami belum saling kenal, bahkan tadi melihat wajahnya saja belum.”
Seisi ruangan tertawa.
“Kalau begitu, kau bisa berkenalan
dengannya setelah ini, Fahri.”
Aku nyengir. Haha.
Tak lama setelahnya, Fahri berhenti
berbicara. Lalu, ia dipersilakan untuk kembali ke tempat semula. Saat ia
berjalan melewatiku, kami bertatapan.
“Terima kasih.” kataku pelan.
Fahri tersenyum, lalu ia menganggukkan
kepalanya.
Aku sontak menunduk. Rasanya, aku
ingin tersenyum lebar sampai tertawa. Haha. Entah kenapa aku merasa ada yang
menggelitik. Selebihnya, hanya ada kata-kata yang terus terngiang dipikiranku,
Hei,
kamu suka ya sama dia?” kata kakak senior.
Tidak,
Kak, bahkan saya belum melihat wajahnya.”jawab laki-laki itu.
Ah, entah aku yang berlebihan atau bagaimana, tapi
rasanya itu adalah kalimat yang paling manis yang pernah kudengar. Sungguh.
Tindakkannya bagai pahlawan untukku. Fahri,
kau tahu, meski aku tidak percaya dengan Cinta pada Pandangan Pertama, tapi kau membuatku percaya bahwa cinta
seperti itu ada, nyata. Kau tahu, sepertinya aku mulai menyukaimu.
Penulis: Fitri Rahayu
***
Jangan lupa komentar nya ya, Kak!
___S E L E S A I___
***Penulis: Fitri Rahayu
***
Jangan lupa komentar nya ya, Kak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar