NAMAKU Selly, 17
tahun, kelas 2 SMA. Aku tidak pernah mengerti kenapa aku tidak pernah pintar.
Maksudku, nilaiku biasa-biasa saja di sekolah. Tidak pernah masuk ranking, padahal aku fokus mendengarkan di
kelas. PR dan berbagai tugas juga selalu kukerjakan.
Ah, kadang sebal pada diri sendiri, mengapa aku begini? Duh, aku tidak
pernah mengerti bagaimana cara berpikir otakku. Aku juga sebal menjadi
rata-rata. Ya, rata-rata. Rata-rata adalah posisi pertengahan yang high achiever tidak, low achiever juga
tidak. Menyebalkan! Pernah sepulang sekolah, aku menangis sesenggukkan karena
mendapat nilai ujian Matematika paling jelek sekelas. Aku kaget, tidak pernah
mendapat nilai sebegitu jeleknya. Tentu aku marah dan kesal. Akhirnya, aku
berdiam diri di kamar sampai sore, malu pada diri sendiri. Beberapa hari
setelahnya, aku menjadi malas belajar, karena merasa itu tidak ada pengaruhnya.
Aku capek. Sungguh.
Tampaknya, hal itu menjadi perhatian Bapak. Waktu itu, ia mendatangiku dan
meminta bercerita apa yang sebenarnya terjadi. Awalnya aku malu dan enggan
sekali, namun karena perasaan kesal itu semakin menjadi-jadi, kucurahkan semua pada
Bapak sampai tak bersisa. Setelahnya, Bapak hanya tersenyum dan mengelus
kepalaku. Aku ingat ia bilang,
“Jangan minder sama orang-orang pintar. Semua orang itu dikasih kapasitas
otak yang sama. Bedanya, ada pada usahanya, Selly. Mungkin kamu masih belum
bekerja lebih keras.”
Aku masih cemberut
“Malu, sih, dapat nilai paling jelek. Haha.”
Aku semakin cemberut.
“Oke-oke. Tentang pintar dan kecerdasan itu tidak melulu soal intelektual,
lho!”
Aku mengernyitkan dahi. Apa Bapak sedang menghiburku? Aku terima, kok,
mendapat nilai jelek. Hiks.
“Maksud Bapak?” tanyaku
Bapak menatapku lamat-lamat. “It’s
not how smart are you, Selly, but how are you smart.”
Aku melongo. “Hah?”
“Duh, kamu ini mau dapat nilai paling jelek di mata pelajaran bahasa
Inggris juga?”
“Ihhhhh, Bapak!!!”
Bapak tertawa. “Dalam bahasa Indonesia, artinya bukan seberapa kamu pintar,
tapi bagaimana kamu pintar. Paham enggak?”
“Enggakkk.”
Bapak geleng-geleng kepala.
Apa aku sebegitu lambannya? Ya ampun. Hiks.
“Setiap orang itu cerdas dengan
caranya masing-masing, dan tidak semua soal pelajaran di kelas atau hal
akademis lain. Tapi, bisa juga di ranah lain. Misalnya, sosial, agama, keahlian,
dan sebagainya. Di atas segalanya, sebenarnya sumber dari kecerdasan itu ada
pada Allah, Selly. Ada kasus saat Allah mencerdaskan seseorang dengan cara-Nya
yang mempesona. Kamu mau tahu?”
Aku mengangguk cepat, terlalu cepat.
“Kasus pertama, ini diambil dari kisah nyata, kakekmu, Selly. Suatu hari, kakek
berinfaq dengan taktik yang bahkan tangan kirinya tidak pernah tahu. Saat kotak
infaq digilir, ia mengeluarkan uang 2.000 selembar. Orang hanya tahu kakek
berinfaq 2.000, namun siapa sangka ternyata kakek membungkus uang 100.000 di
dalamnya!”
“Wah..” aku tertegun. Apa kakek seperti itu? Cerdas sekali.
Bapak kembali berbicara, “Kasus kedua, masih kisah nyata dari kakekmu
sewaktu ia masih muda dulu. Kakek sedang pergi ke supermarket. Ketika di kasir,
ia melihat ada seorang ibu mengantri di depannya. Ia terlihat tidak cukup uang
untuk membayar beberapa belanjaannya. Melihat kejadian itu, kakek tiba-tiba
merogoh saku dan memberikan uang kepada ibu itu sambil bilang,
Bapak berdeham dan meniru suara kakek,
“‘Uang ibu jatuh’. Setelah membayar belanjaan dengan perasaan bingung, ibu
bertanya, ‘Kenapa kamu bilang uang saya jatuh, padahal saya sadar bahwa uang
ada di dompet, dan saya tahu berapa jumlah uang yang saya bawa.’ Lalu, kakekmu
menjawab cerdas sekali, betul-betul ide brilian.”
Aku penasaran. “Apa-apa? Kakek bilang apa?”
“Kakek jawab, ‘kalau saya bilang biarkan saya yang membayarnya, ibu pasti
tidak akan menerima, karena saya orang yang tidak ibu kenal. Selain itu, ada
anak ibu di samping, saya berpikir ibu pasti tidak mungkin bilang padanya tidak
ada uang, sementara semua barang sudah di meja kasir. Ibu pasti akan merasa
malu, dan tidak akan sampai hati membuatnya kecewa dengan mengembalikan
belanjaan ke tempat semula. Jadi, saya bilang demikian.’”
Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Apa benar kakek seperti itu? Wah, cerdas sekali!
Bapak tersenyum. “Itu yang Bapak maksud kecerdasan dan kepintaran bukan
hanya masalah intelektual. Semua itu banyak ranahnya, Selly. Dan sejatinya,
setiap orang itu spesial. Dan ingatlah bahwa hanya Allah sumber dari semua
kecerdasan. Minta pada-Nya untuk dicerdaskan, agar mampu bermanfaat bagi orang
lain.”
Perkataan-perkataan Bapak waktu itu sungguh melekat di pikiranku sampai
sekarang. Hal yang membuat aku mengerti apa hakikatnya kecerdasan sejati.
Meskipun begitu, ini bukan berarti sebuah pembelaan dari nilaiku yang hancur,
karena tentu saja aku harus memperbaikinya!
Terima kasih, Bapak, kini aku mengerti.
***
Penulis: Fitri Rahayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar